Jumat, 27 November 2020

Modul 1.3.a.9 Koneksi Antar Materi

 

Modul 1.3.a.9 (Koneksi Antar Materi)

Fauziah Razak (CGP Angkatan 1, Bone Sulsel)

Hubungan Paradigma Inkuiri Apresiatif dengan Filosofi Ki Hajar Dewantara

Pembelajaran yang aman, nyaman serta bermakna bagi anak adalah pembelajaran yang dinantikan oleh semua pihak, termasuk guru, anak didik maupun pemangku kepentingan lainnya. Untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna dibutuhkan suatu perubahan yang mengarah pada perbaikan kualitas pembelajaran. Dalam mewujudkan perubahan tersebut, dibutuhkan waktu yang tidak singkat, sehingga semua unsur dalam pendidikan harus saling bersinergi untuk mewujudkan perubahan bersama. Paradigma Inkuiri Apresiatif lahir untuk membantu menggali kekuatan positif dalam mewujudkan perubahan.


Inkuiri Apresiatif (IA) dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider. Cooperrider menyatakan bahwa pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas,  serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa. IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi,  sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan.

Pendekatan Inkuiri Apresiatif sejalan dengan Filosofi pendidikan Ki Hajar dewantara, dimana dalam Filosofi tersebut menekankan pada penggalian dan pengembangan potensi anak didik agar tercapainya kemerdekaan dalam belajar. Merdeka belajar tidak dapat diwujudkan tanpa adanya perubahan yang nyata. Inkuiri Apresiatif membantu untuk menggali segala potensi positif yang telah dibawa anak  didik untuk menjadi energi positif dan kekuatan untuk membentuk karakter-karakter yang baik di masa depan. Bagi Ki hajar dewantara pendidik hanya bertugas untuk merawat dan menuntun kodrat anak, melalui pendekatan Inkuiri Apresiatif guru dapat membantu proses menuntun tersebut dengan memberikan bantuan, arahan serta bimbingan kepada anak didik agar dapat mengembangkan potensi mereka menjadi kekuatan yang selaras dengan kodrat zaman dimana mereka berada.

Pemanfaatan Paradigma Inkuiri Apresiatif terhadap nilai dan peran guru dalam Mewujudkan Visi Merdeka Belajar

IA sebagai salah satu model manajemen perubahan dan mencoba menerapkannya melalui tahapan dalam IA yang disebut dengan BAGJA (Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi). Melalui tahapan Bagja pendidik dapat memformulasi rencana untuk perubahan dengan mengidentifikasi nilai positif dalam sekolah agar dapat dijadikan sebagai kekuatan. Dalam mengembangkan inti positif agar menjadi kekuatan, identifikasi kekuatan dan peran para pemangku kepentingan sangat diperlukan terutama peran guru atau pendidik. Peran pendidik dalam memanfaatkan paradigma inkuiri Apresiatiff antara lain: membantu anak didik untuk menggali potensi mereka masing-masingagar menjadi kekuatan, mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada anak didik dengan memperhatikan kebutuhan anak didik di zaman dimana mereka berada, menciptakan suasana yang aman dan nyaman agar anak didik dapat mengembangkan potensi mereka, membangun komunikasi efektif agar anak didik dapat mengumakakan pendapatnya dengan lugas serta menciptakan ruang agar anak didik dapat bereksplorasi tanpa adanya tekanan.



Jika dikelola dengan baik, maka Inkuiri Apresatif dapat membantu peran guru menemukan inti positif dalam proses pembelajaran. Inti positif yang telah ditemukan dapat dikelola menjadi energi positif, kemudian mengubah energi tersebut menjadi kekuatan. Kekuatan yang dibiasakan dengan baik akan bertumbuh dan berkembang menjadi budaya positif untuk mewujudkan visi merdeka belajar.  

- Salam & Bahagia-


Rabu, 28 Oktober 2020

Bermain Dalam Islam

 

Dunia anak adalah dunia bermain. Jadi, sudah selayaknya pembelajaran dikelola dengan cara bermain. Piaget dan Vigotsky, peneliti dunia anak usia dini menemukan bahwa bermain merupakan salah satu komponen terpenting dalam kesuksesan anak di sekolah. Melalui bermain anak diajak berkomunikasi, bernegoisasi, mengelola peraturan, memperoleh pengetahuan serta memperluas keahlian berfikir kognitif mereka.[1] Senada dengan hal tersebut, Jean Piaget menegaskan melalui aktivitas bermain anak bisa menemukan sendiri pengetahuan yang akan menjadi konsep permanen bagi kehidupannya kelak.[2] Bermain merupakan karakteristik anak usia dini, sementara permainan merupakan sesuatu yang digunakan dalam bermain itu sendiri dengan tujuan untuk mendatangkan kesenangan dan kegembiraan pada anak.


Bermain bagi anak usia dini sangatlah penting karena masa mereka merupakan usia bermain. Menurut Ratna, tidak ada alasan untuk tidak menganggap kegiatan bermain itu sebagai kegiatan belajar. Justru pada usia anak-anak belajar akan menjadi efektif dan lebih cepat ditangkap pada saat bermain.[3] Jadi bermain merupakan kebutuhan mereka untuk belajar.

Dalam konsep Islam, bermain sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Bahkan setiap orang tua hendaknya menyempatkan diri untuk bermain dengan anak-anak mereka. Islam memandang bahwa bermain merupakan sesuatu yang penting bagi anak-anak. Selain sebagaimana wujud kasih sayang juga dapat melatih kreativitas dan fisik mereka agar menjadi kuat. Rasulullah saw sering menyempatkan diri bermain bersama anak-anak. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa beliau sering menggendong Hasan dan Husain di atas punggung beliau kemudian bermain kuda-kudaan. Beliau sering memasukkan sedikit air kemulut beliau, lalu menyemburkan ke wajah Hasan, hingga Hasan pun tertawa.[4]  Dalam riwayat lain Umar bin Khattab ra pernah berjalan di atas tangan dan kedua kakinya (merangkak), sementara anak-anak bermain di atas punggungnya. Ketika orang-orang masuk dan melihat khalifah mereka dalam keadaan seperti itu merekapun berkata”, engkau mau melakukan hal seperti itu wahai amirul mukminin?” Umar menjawab,” Tentu!.”[5]

Kedua riwayat di atas menggambarkan bahwa setiap orang tua hendaknya menyempatkan diri bermain bersama anak-anaknya. Selain itu dapat dimaknai pula bahwa dalam mendidik anak-anak hendaknya diselingi dengan berbagai permainan, sehingga anak akan merasa senang dan nyaman dalam mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, bermain merupakan kebutuhan anak yang harus dipenuhi yang akan berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangannya kelak. Maka dari itu, tidaklah heran bila Islam memandang bermain sebagai sesuatu yang amat penting bagi anak-anak.



[1] Kathy Charner dkk, Permainan Berbasis Sentra Pembelajaran, (Cet. I; Jakarta: Erlangga, 2005), h. 8

[2] Yudhistira dan Siska Y. Massardi, Pendidikan Karaker dengan Metode Sentra, h. 67

[3] M. Fadlillah, Edutaiment Pendidikan Anak Usia Dini, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2016), h. 27

[4] M. Fadlillah, Edutaiment Pendidikan Anak Usia Dini, h. 28

[5]  Muhammad Fadhillah dan Lilif Mualifatuh Khorida, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini (Konsep dan Aplikasinya dalam PAUD), h. 133

3.3.a.9. Koneksi Antarmateri - Pengelolaan Program yang Berdampak pada Murid

  3.3.a.9. Koneksi Antarmateri - Pengelolaan Program yang Berdampak pada Murid Hal-hal menarik yang dapat Anda tarik dari pembelaja...